Wednesday, October 31, 2012

Tulusnya Cinta Tanpa Alasan

“Kring… kring…!” terdengar suara alarm berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Tapi, aku tetap asyik melanjutkan tidur tanpa menghiraukan alarm berbunyi. Tepat pukul 07.45 aku terbangun. “Hahhhhhhhhh aku kesiangan,” teriakku kemudian segera bergegas ke kamar mandi.
“Mam kenapa nggak bangunin aku sih? Aku sudah telat nih,” kataku sambil ngomel.
“Sindy, kamu nggak berubah dari dulu, selalu saja nggak tepat waktu, tadi Panji ke sini tapi Mama suruh dia berangkat  duluan,” kata Mama sambil mondar–mandir mberesin dapur.
“Mama tega ya sama Sindy…” kataku kesal.
“Makanya jadi anak itu yang tepat waktu, apalagi kamu kan anak perempuan,” ucap Mama sambil senyam-senyum.
“Aahh Mama, sudahlah aku berangkat kuliah dulu,” kataku sambil menuju ke pintu dengan tergesa-gesa.
*****
“Panji, Panji…!” teriakku sambil berlari.
“Kamu nggak kuliah Sin? Jam segini baru nyampe kampus,” kata Panji heran.
Enggak,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
“Lha, terus ngapain kamu ke sini?” tanya Panji.
“Tadinya sih mau kuliah tapi sudah telat,” jawabku.
“Duduk di taman yuk sin?” ajak Panji.
“Ayo…” jawabku singkat, terus mengikuti langkah Panji menuju taman.
Kamipun duduk berdua. Kukeluarkan popcorn dari dalam tas, kutawarkan pada Panji. Panji hanya menggeleng sambil mengeluarkan buku. Sambil makan popcorn, kuamati raut wajah Panji yang tengah asyik membuka lembar-lembar buku.
“Nji, kita kan jalan sudah dua tahun, tapi kamu tak pernah mau menjawab kenapa kamu mencintai aku,” kataku sambil memandang Panji. Panji hanya tersenyum tanpa keluar satu katapun dari mulutnya. Rasanya aku kesal sekali karena pertanyaanku tak pernah mendapat jawaban. Tanpa kata-kata akupun beranjak dan bersiap pergi meninggalkannya. Tapi anehnya, Panji tak menghentikan aku. Dia tetap asyik dengan bukunya. “Mungkinkah dia sudah nggak sayang aku?” bisik hatiku.
*****
“Sindy………… itu ada teman-teman kamu,” panggil Mama.
Akupun langsung turun ke bawah, ‘hay sin” kata ketiga temanku. Mereka adalah Nayla, Lola, dan Vivi. Mereka bertiga adalah teman akrabku. Kami berteman sejak duduk di bangku SMP hingga sekarang. Di antara kami ssudah tidak ada kata rahasia, kami selalu berbagi baik suka maupun duka.
“Nih Sin, kami bawa oleh-oleh buat kamu,” kata Nayla. Mereka membawa coklat kesukaanku.
“Hemm… kalian tahu aja,” kataku sambil senyum.
“Eh tahu nggak Roy bilang katanya dia cinta aku karena aku cantik lhoo…” kata Vivi.
”Hemm… Rangga juga nggak kalah sama Roy, dia bilang katanya cinta aku gara-gara aku pandai memasak,” sambung Nayla ikut-ikutan pamer.
Lola juga nggak mau kalah, “Kalau Andi sih cinta aku karena aku pandai menari.”
Ketiga temanku begitu bahagia karena pujian dari kekasih mereka. Sedangkan aku tak punya alasan apa-apa. Tapi aku tetap tersenyum di depan mereka meskipun sebenarnya hatiku begitu perih.
“Eh, Sin kalau Panji dia cinta kamu karena apa?” tanya Lola sambil cengengesan.
“Entahlah aku sendiri juga nggak tahu,” jawabku sambil menggelengkan kepala. Tapi kami tetap lanjutkan tawa kami.
*****
“Nji kenapa sih kamu nggak mau menjawab pertanyaanku? Aku ingin seperti teman-teman lain yang selalu punya alasan kenapa kekasih mereka mencintai mereka,” kataku.
“Sepenting itukah alasan cinta bagimu?” tanya Panji.
“Iyalah, aku ingin seperti mereka, mereka bilang kekasihnya menyukainya karena cantik, pandai menari, pandai memasak. Sedangkan aku, tak pernah tahu kenapa kamu cinta aku,” jelasku panjang lebar. Namun, lagi-lagi Panji  tersenyum tanpa kata-kata. Darahku seakan naik dan urat nadiku seakan mau keluar karena kesal dengan sikap Panji.
“Kamu memang nggak tulus sama aku, yang ada pada dirimu hanyalah kepura-puraan. Bilang aja kalau kamu sebenarnya nggak suka sama aku, jangan buat aku seperti orang bodoh gini, Nji. Hubungan ini hanyalah omong kosong. Mulai hari ini aku ingin hubungan kita berakhir,” kataku, mulai meneteskan air mata. Tak kuasa lagi rasanya menahan semua ini, aku lari tanpa menghiraukan teriakan Panji.
*****
Liburan semesterpun tiba, aku dan ketiga temanku pergi ke Puncak. Sekalian untuk menghilangkan rasa penat di dada. Di tengah perjalanan hujan begitu lebat dan angin demikian kencang. Namun, kami tetap meneruskan perjalanan. Karena jalan dipenuhi dengan kabut, kamipun tak dapat melihat jalan dengan jelas. Mobil yang kami kendarai menabrak jembatan. Kami tidak sadarkan diri dan saat kubuka mata, aku ssudah berada di rumah sakit. Ketiga temanku hanya mengalami luka ringan, sedangkan aku mengalami luka yang parah. Seluruh tubuhku tak bisa digerakkan dan wajahku pun menjadi jelek.
“Oh Tuhan hukuman apa yang Engkau berikan kepadaku? Rasanya aku tak sanggup menghadap ini,” jeritku dalam hati.
*****
Dalam kondisiku yang seperti ini, aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku tak sanggup menjalani hidup seperti ini. Aku selalu berdiam diri di kamar, dengan ditemani kursi rodaku. Mamapun sering menangis melihat kondisiku yang tak pernah mau diajak bicara. Saat aku sedang duduk sambil merenungi nasibku, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku. Saat aku menoleh ke arah pintu ternyata yang datang adalah Panji.
Ngapain kamu ke sini? Bukankah dulu aku ssudah marah-marah sama kamu? Atau kamu ke sini hanya untuk menertawakan keadaanku?” tanyaku dengan linangan air mata.
“Dengar Sin, aku sayang sama kamu, cintaku begitu tulus,” kata Panji berusaha meyakinkanku.
“Tapi kenapa kamu masih cinta aku? Bukankah sekarang ini aku cacat? Aku tak cantik sepeti dulu, dan akupun kini lumpuh tangan dan kakiku tak bisa digerakkan.”
“Kamu tahu kenapa dulu aku nggak pernah menjawab pertanyaan kamu? Kalau dulu aku bilang aku cinta  kamu karena kamu cantik, mungkin sekarang aku sudah ninggalin kamu karena wajahmu tak secantik dulu lagi. Kalau dulu aku bilang aku cinta kamu karena kamu pandai menari, mungkin sekarang aku sudah ninggalin kamu karena kakimu sudah nggak bisa untuk nari lagi. Kalau dulu aku bilang aku cinta kamu karena kamu pandai memasak, mungkin sekarang aku sudah ninggalin kamu karena tangan kamu sudah nggak bisa untuk masak lagi. Inilah alasanku mengapa tak pernah menjawab pertanyaanmu Sin. Aku nggak mau dengan alasan semua ini aku ninggalin kamu,” jelas Panji panjang lebar.
Akupun tak kuasa menahan air mata ini, aku begitu terharu dengan kata-kata Panji. Sekarang aku baru sadar tulusnya cinta tanpa alasan. Akhirnya kamipun bersatu kembali. (*)